SUARA INDONESIA PAMEKASAN

Cemas: Sebuah Renungan Mahasiswa Doktoral

Chandra Kirana - 27 April 2021 | 11:04 - Dibaca 560 kali
Pendidikan Cemas: Sebuah Renungan Mahasiswa Doktoral
Ilustrasi (Google)

Cemas: Sebuah Renungan Mahasiswa Doktoral

Oleh: Husamah (Dosen di FKIP UMM, seorang mahasiswa doktoral)

Sebuah grup WhatsApp yang saya ikuti dimana anggotanya adalah para mahasiswa S3, kembali ramai dengan obrolan atau chat. Berbagai respon unik, lucu, dan bahkan terkadang nuansa marah muncul silih berganti. Obrolan terus bermunculan dari sore hari, hingga malam hari. Bahkan besoknya, obrolan terus menghangat, diselingi kata-kata bijak dan kepasrahan. Walau dari sisi lain, saya melihatnya bahwa banyak dari anggota grup yang “cemas”. Termasuk saya.

Apa pemicunya? Saya tidak akan menyebutkan merek, personal, ataupun lembaga. Namun, agar jelas maka saya sebut saja ‘Dosen A’. Kebetulan kami sedang mengikuti satu mata kuliah wajib tertentu. Masalahnya adalah instruksi dan komentar yang diberikan terkadang “tidak manusiawi”, “disampaikan melalui pesan WhatsApp personal”, “terlalu sering membanding-bandingkan bahkan mengatakan bahwa mahasiswa S3 kalah dengan mahasiswa S1”, dan banyak lainnya. Parahnya lagi, instruksi dan komentar itu tidak sejalan dengan dosen lain yang menjadi tim pengampu mata kuliah. Juga tidak sesuai dengan kesepakatan di awal perkuliahan.

Para mahasiswa di kelas kami sangat heterogen. Beberapa adalah freshgraduate yang bersemangat menyambung kuliah dari S1 hingga S3, atau hanya istirahat 1-2 tahun lalu melanjutkan kuliah doktoral. Ada pula guru senior yang tetap memiliki semangat membara untuk memperdalam ilmu. Sebagian lagi adalah dosen di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta, Jawa dan luar Jawa. Atas fakta itu, terjadi keragaman ekspresi dan respon dalam menghadapi masalah. Positifnya, kelas ini cenderung kompak, dan mudah berkomunikasi dan menemukan kesepakatan. Cenderung menafikan ego pribadi dan saling membantu. 

Pun demikian, satu hal yang sering tampak adalah munculnya rasa “cemas”. Saya khawatir levelnya akan terus meningkat, terlebih di waktu bersamaan tugas lain juga mengantri dikejar tenggat waktu (deadline). Mahasiswa pun akan menghadapi tahap penyusunan disertasi. 

Saya sempat bertanya-tanya, apakah memang mahasiswa doktoral identik dengan kecemasan? Saya sering mendapati senior dan kenalan yang sedang menempuh studi doktoral dan mereka sedang dalam kecemasan tinggi. Beberapa kenalan menunjukkan tingkat emosi yang labil, sebagai ungkapan cemasnya. Saya mendapati kasus, dimana seseorang mengirimkan foto resep dari dokter jiwa ketika ia meminta tolong agar buku produk dari disertasinya di-proofread. Oleh karena itu, kiranya catatan ini dapat memberikan semacam renungan singkat, walau jauh dari solusi.

Mahasiswa Doktoral dan Kecemasan

Saya mencoba menelusuri kata-kata kecemasan atau anxiety dan hubungannya dengan mahasiswa doktoral. Beruntungnya, Google sangat memudahkan penelusuran ini. Hasilnya cukup luar biasa. Dengan mengetikkan kata/frasa “mahasiswa doktoral + cemas” di Google, didapatkan sekitar 9.080 hasil dalam waktu 0,40 detik. Artikel-artikel yang muncul di urutan-urutan atas ternyata sangat mendukung. 

“Ternyata Setengah dari Mahasiswa Program Doktoral Mengalami Tekanan Psikologis”, begitu judul artikel yang ditulis oleh Bayu D. Wicaksono dan dipublikasi di IDNTimes (08/04/2017), yang mengutip hasil dari tim peneliti dari Ghent University. Beberapa informasi mungkin dapat saya sampaikan ulang dan pembaca dapat menelusuri ulang artikel tersebut. Dikatakan bahwa “hasil penelitian dengan sampel 3.659 orang menunjukkan bahwa mahasiswa doktoral 2,4 kali lebih mungkin terganggu mentalnya dibandingkan mahasiswa/lulusan program sarjana. Banyak mahasiswa doktoral menderita masalah kesehatan mental, dari kecemasan kronis dan depresi klinis”. 

Hasil penelitian ini juga dikutip oleh Lila Nathania dan dipublikasi di intisari.grid.id (01/04/2017). Ia lebih mengutip hasil penelitian yang dipublikasi pada Jurnal Research Policy. Faktanya, “satu dari dua orang mahasiswa doktoral mengalami stress psikologis. Selain itu, satu dari tiga orang berisiko mengalami kelainan psikologis, biasanya depresi”. Mengapa menjadi cemas bahkan depresi? Depresi ini muncul karena tekanan terus-menerus, ketidakbahagiaan, masalah tidur karena cemas, ketidakmampuan mengatasi kesulitan, dan tidak bisa menikmati rutinitas harian. Itu semua merupakan hal yang sering dialami oleh para mahasiswa doktoral.

Mohon maaf, saya agak susah menemukan hasil penelitian tentang kondisi cemas dan depresi mahasiswa doktoral di Indonesia. Namun minimal, apa yang saya sampaikan di pengantar artikel memberikan gambaran bahwa kasus itu banyak. Saya akui, saya juga sempat mengalami kecemasan di awal-awal studi. Alhamdulillah, semakin hari semakin membaik, terus membaik hingga hari ini.

Sedikit Solusi

Rasanya tidak bijak jika saya tidak memberikan solusi. Jujur, solusi ini saya peruntukkan terutama untuk diri saya. Jika pembaca dapat mengambil hal positif, tentu saya sangat bersyukur. Tentu solusi itu berdasarkan apa yang say abaca, dan secara pribadi saya mendukung karena logis dan bermanfaat. 

Saya terinspirasi dari artikel yang ditulis Sandy Arief (2020), mahasiswa program doktoral di Jurusan Akuntansi dan Tata Kelola Perusahaan, Macquarie University, Sydney, Australia. Ia mengatakan bahwa salah satu hal yang penting adalah saling menguatkan dan berbagi/membantu antar mahasiswa. Tidak perlu sungkan untuk meminta bantuan teman apabila mempunyai masalah atau kendala yang tidak dapat dipecahkan sendiri. Teman yang baik akan sangat memahami dan berusaha untuk membantu menyelesaikan masalah yang ada dengan memberikan berbagai alternatif solusi. Perjalanan studi doktoral ini tentu tidak mudah namun saya yakin sepenuhnya bahwa perjalanan yang penuh tantangan ini akan sangat berharga untuk masa depan yang lebih baik. Bersyukur, langkah para mahasiswa doktoral sebagaimana yang telah saya ceritakan di awal sudah on the track: saling membantu dan saling berbagi. 

Saya pun setuju dengan hasil sebuah studi di Michigan State University, sebagaimana pernah dikutip UPN Connect (23/09/2017). Dikatakan bahwa jika kita gampang cemas dan galau, maka satu solusi yang baik. Bagaimana caranya? Cukup tuliskan tentang perasaan kita. hal ini dapat membantu menyelesaikan pekerjaan yang membuat stres dengan lebih efisien. Penelitian ini memberikan bukti neural dari manfaat tulisan ekspresif, kata penulis utama Hans Schroder, seorang mahasiswa doktoral MSU dalam bidang psikologi dan magang klinis di Harvard Medical School's McLean Hospital. 

Nah, ketika saya menulis catatan ini, sebenarnya saya telah berupaya mempraktikkan solusi tersebut.

Terakhir, tentu solusi yang paling kuat adalah kembali ke ajaran agama kita. Bersyukur, saat ini kita berada di bulan Ramadhan. Bulan yang penuh keberkahan. Memaksimalkan keberpasarahan hanya kepada Sang Khalik akan menjadi solusi terbaik. Allah SWT lah yang Maha membolak-balikkan hati, dan memudahkan segala urusan. Perbanyak dzikir, karena itu akan menenangkan jiwa. 

Allah Swt. berfirman, (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tentram. (QS. Ar Ra’du [13] : 28).

Dalam ayat ini Allah SWT dengan jelas memberikan petunjuk kepada orang-orang beriman, bahwa jika kita dilanda cemas maka berdzikirlah, ingatlah Allah, sebutlah nama-Nya sehingga hati kita akan tenang. Wallaahu a’lam bis showab.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Chandra Kirana
Editor :

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya